Sidoarjo, Kampus Ursulin – Sanmaris, setiap tahun, Gereja Katolik di Indonesia mengkhususkan waktu dalam Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) untuk menghidupkan kembali kecintaan kita akan Sabda Tuhan. Pada tahun 2025, Keuskupan Surabaya mengajak kita untuk menyelami tema yang sangat mendasar dan transformatif dalam identitas kita sebagai orang beriman, yaitu panggilan untuk menjadi Imam, Nabi, dan Raja.
Tema ini bukanlah sekadar wacana. Ini adalah jiwa dari Arah Dasar Keuskupan kita, yang memanggil setiap orang yang telah dibaptis untuk mewujudkan Tritugas Kristus dalam hidup sehari-hari, mulai dari keluarga, lingkungan, hingga dunia kerja. Lalu, apa artinya bagi kita? Ketika kita dibaptis, kita disatukan dengan Kristus dan menjadi anggota dari Tubuh-Nya yang Mistik. Dalam sakramen inilah kita diurapi untuk mengambil bagian dalam tiga tugas mulia Kristus. Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa melalui baptisan, kita dijadikan "imam, nabi, dan raja". Ini adalah martabat dan panggilan kita bersama. Tanda paroki yang dewasa dan berkembang adalah ketika umatnya tidak hanya hadir, tetapi secara aktif hidup sebagai imam, nabi, dan raja di tengah dunia.
Menjadi Imam: Menjadi Jembatan yang Kudus
Dalam Perjanjian Lama, seorang imam bertindak sebagai pengantara. Di satu sisi, ia mempersembahkan korban dan doa umat kepada Allah. Di sisi lain, ia membawa berkat dan pengampunan Allah kepada umat. Ia adalah jembatan antara yang Kudus dan yang fana.
Kitab Imamat (bab 9) menggambarkan dengan detail bagaimana Harun dan anak-anaknya harus menyucikan diri mereka sendiri terlebih dahulu sebelum mereka dapat mempersembahkan korban bagi seluruh bangsa. Mereka harus "tak bercela". Ini mengajarkan prinsip yang sangat penting: sebelum menjadi saluran berkat bagi orang lain, kita sendiri harus beres di hadapan Tuhan.
Dalam kehidupan kita, panggilan sebagai imam diwujudkan dengan mempersembahkan seluruh hidup kita—segala suka dan duka, pekerjaan, dan talenta—sebagai persembahan yang berkenan kepada Allah. Setiap tindakan kasih, setiap kesabaran, dan setiap pengorbanan kecil kita di rumah atau di kantor adalah "kurban" yang dipersembahkan dengan iman. Kita menjadi jembatan rahmat Tuhan bagi orang-orang di sekitar kita, terutama bagi mereka yang tersingkirkan dan menderita.
Menjadi Nabi: Berani Bersuara atas Nama Kebenaran
Seorang nabi bukanlah peramal masa depan. Ia adalah penyambung lidah Allah, orang yang mendengarkan firman-Nya terlebih dahulu, lalu memberitakannya dengan berani kepada umatnya. Dalam Ulangan 18, Musa menubuatkan tentang akan datangnya seorang nabi "dari antara saudara mereka", yang akan menaruh firman Tuhan dalam mulutnya.
Nabi sejati tidak berbicara berdasarkan keinginannya sendiri atau kepentingan popularitas. Ia hanya menyampaikan apa yang diperintahkan Tuhan, sekalipun itu adalah pesan yang keras dan tidak populer. Tugas kenabian seringkali membuat orang merasa tidak nyaman karena menantang kemunafikan dan penyimpangan.
Panggilan kenabian kita hari ini adalah untuk mewartakan kebenaran dengan segala cara, terutama melalui kesaksian hidup. Di era digital di mana begitu banyak "nabi palsu" dan suara-suara yang menyesatkan, kita dipanggil untuk menjadi penjala jiwa-jiwa yang bijaksana. Kita harus berani menolak hoaks, ujaran kebencian, dan budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Injil. Pewartaan kita dimulai dari cara kita bersikap di media sosial, dalam percakapan sehari-hari, dan dalam membela mereka yang tidak memiliki suara.
Menjadi Raja: Memimpin dengan Melayani
Gambaran seorang raja dalam dunia kita seringkali identik dengan kekuasaan, kemewahan, dan kekuatan militer. Namun, Tuhan memberikan gambaran yang sangat berbeda. Dalam Ulangan 17, seorang raja yang dipilih Tuhan justru dilarang untuk memperbanyak kuda (simbol kekuatan militer), istri (simbol aliansi politik yang berbahaya), serta emas dan perak (simbol keserakahan).
Sebaliknya, sang raja harus menyalin sendiri kitab Taurat dan membacanya "seumur hidupnya, agar ia belajar takut akan TUHAN, Allahnya". Raja sejati adalah gembala yang melayani , bukan penguasa yang menindas. Ia pertama-tama harus mampu memimpin dan menaklukkan dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain.
Dalam konteks kita, setiap kita adalah "raja" dalam ranah kita masing-masing. Seorang ayah/ibu adalah raja dalam keluarganya, seorang pemimpin di tempat kerja, atau seorang ketua lingkungan. Kepemimpinan kristiani bukanlah tentang menguasai, tetapi tentang melayani dan memajukan kesejahteraan bersama. Kita dipanggil untuk menjadi pelindung bagi yang lemah dan penjaga keadilan serta kedamaian di komunitas kita.
Yesus: Jalan, Kebenaran, dan Hidup yang Menggenapkan
Seluruh nubuat dan gambaran dalam Perjanjian Lama menemukan penggenapannya yang sempurna dalam diri Yesus Kristus. Dalam Yohanes 14, Yesus menyatakan diri-Nya dengan jelas: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup." Sebagai Jalan, Dialah Imam Agung yang mempersembahkan diri-Nya sekali untuk selamanya sebagai korban yang sempurna, menjembatani kita dengan Bapa. Sebagai Kebenaran, Dialah Nabi Agung yang mewahyukan seluruh isi hati Bapa. Tidak ada kebenaran di luar diri-Nya. Sebagai Hidup, Dialah Raja yang memimpin kita kepada hidup yang berkelimpahan, sekarang dan untuk selamanya.
Dialah sumber dan kekuatan kita. Tanpa Dia, kita tidak dapat melakukan apa-apa. Hanya dengan bersatu dengan-Nya, kita dapat sungguh-sungguh menghidupi panggilan mulia kita.
Bulan Kitab Suci Nasional 2025 ini mengajak kita untuk melampaui pengetahuan. Tujuannya adalah transformasi. Marilah kita merenungkan: Sebagai imam, persembahan hidup apa yang bisa kuberikan hari ini? Sebagai nabi, kebenaran apa yang harus kuwartakan melalui kata dan perbuatanku?
Sebagai raja, bagaimana aku dapat melayani dan memimpin dengan lebih baik dalam lingkup tugasku?
Dengan rahmat Tuhan, marilah kita menjawab panggilan ini dengan berani dan rendah hati. Semoga kita tidak hanya menjadi pendengar Sabda, tetapi pelaku yang setia, sehingga melalui kita, dunia dapat mengalami kasih Kristus, Imam, Nabi, dan Raja kita.
Selamat merayakan BKSN 2025. Berkah Dalem.
Nicolaus Henry